Minggu, 06 Januari 2013

KERANGKA UMUM SISTEM EKONOMI ISLAM

KERANGKA UMUM SISTEM EKONOMI ISLAM

    Manusia hidup dengan segenap fitrah yang ada di dalam dirinya yang diciptakan oleh Allah SWT bersama dengan proses penciptaan manusia. Salah satu bentuk fitrah itu adalah adanya berbagai macam kebutuhan dalam diri manusia. Tanggung jawab manusia adalah memenuhi kebutuhan itu dengan cara yang benar. Dengan cara itu manusia menjalani berbagai aktivitas: bermasyarakat, berkomunikasi, berketurunan, dan lain sebagainya.
    Dalam kerangka ekonomi, barang dan jasa ada dua komoditas utama yang diperlukan manusia untuk mencukupi segala kebutuhannya, yang masing-masing memiliki nilai guna yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan itu. Makanan memiliki nilai guna berupa energy, rumah sebagai tempat tinggal, mobil sebagai alat transportasi dan sebagainya. Nilai guna yang ada pada barang dan jasa tardiri dari dua hal. Pertama, tingkat kepuasan atau kesenangan yang dapat dirasakan oleh manusia ketika berhasil memiliki barang atau jasa yang dibutuhkan, kedua, kegunaan (utility) yang diperoleh dari barang atau jasa secara langsung. Pada jasa, misalnya, kegunaan tenaga fisik manusia untuk memindahkan barang; pikiran atau keahlian untuk yang merancang mesin produksi dan sebagainya.
    Dari segi keberadaannya, berbagai jenis barang sebenarnya telah tersedia jumlah yang relative banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia. Barang tersebut kadang-kadang berada dalam keadaan alami yang dapat dimanfaatkan secara langsung seperti air, udara serta buah-buahan; kadang-kadang membutuhkan usaha khusus untuk bisa mendapatkannya seperti emas dan minyak bumi yang harus ditambang, ikan harus dijala, bahan pangan yang harus ditanam, diproduksi dan sebagainya.
“dialah yang menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada dibumi”(QS al-Baqarah [2]: 29)
“Hendaknya manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya kami telas mencurahkan air (dari langit), kemudian kami membelah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu kami menumbuhkan biji-bijian di bumi itu anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumpu-rumputan, untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian” (QS Abasa [80] : 24-32).

    Jadi, Allah telah menyediakan berbagai macam bentuk barang di alam semesta ini agar manusia sesuai fitrahnya terdorong untuk memanfaatkan semua itu demi kemaslahatan hidupnya. Karena harta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dan usaha manusia adalah saran untuk memperoleh harta, maka harta adalah dasar dari manfaat, sedangkan usaha manusia adalah sarananya.
   

Berbagai macam barang, baik bisa dimanfaatkan secara langsung maupun tidak memang telah disediakan Allah SWT di alam semesta ini. Namun, bagaimana barang-barang tersebut dimanfaatkan, dikembangkan atau diproduksi dan diperlakukan lebih lanjut oleh manusia sangat ditentukan oleh konsep kepemilikan yang dianutnya. Perbedaan nyata dari kapitalisme dan sosialisme misalnya, juga terletak pada konsep ini. Kapitalisme menekan kepada kepimilikan individu (individualisme), sementara sosialisme pada kepimilikan bersama (kolektivisme).
System ekonomi islam memiliki pandangan yang khas tentang harta. Harta pada hakikatnya adalah milik Allah (QS 24:32). Harta yang dipunyai oleh manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan atau diserahgunakan (istikhlaf) kepadanya (QS 57:7) kata rezeki (ar rizk) artinya memang pemberian (I’tha). Pandangan ini berbeda dengan paham kapitalisme yang menganggap harta sebagai milik manusia karena manusia yang mengusahakannya. Dari pandangan inilah muncul falsafah hurriyah at-tamalluk (kebebasan pemilikan) yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini , manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan hartanya.
Pandangan islam juga berbeda dengan sosialisme yang berkebalikan dengan kapitalisme, yakni tidak mengakui kepemilikan individu. Semua adalah milik Negara. Individu dibari sebatas yang diperlukan dan dia bekerja sebatas yang dia bisa. Sosialisme mematikan kreativitas manusia. Dimensi individual dan motif-motif manusia dihilangkan. Prinsip ini ternyata berakibat fatal karena kepemilikan individu tidak diakui, dorongan pencapaian pribadi menjadi tidak ada. Pada gilirannya, terjadilah penurunan secara drastic produktivitas masyarakat karena mereka telah kehilangan hasrat untuk memperoleh untuk memperoleh keuntungan (profit motives).
Kesimpulannya,pandangan Islam tentang kepimilikan berbeda dengan kapitalisme yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada kuantitas (jumlah) kualitas (cara) peroleh harta serta pemanfaatannya; berbeda pula dengan sosialisme yang mengatur secara ketat baik kuantitas maupun kualitas harta. Dalam islam tidak ada kebebasan kepemilikan, tetapi tidak ada pembatasan secara mutlak. Islam secara tepat mengatur cara pemilikan serta cara pemanfaatan pemilikan. Cara pemilik yang sah adalah izin dari syariah dalam menguasai zat dan manfaat suatu harta. Artinya, melalui hokum syariah islam.
“hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.”(QS  al-Baqarah [2]: 168.
    Melalui syariah, Islam menetapkan bahwa kepemilikan atas harta yang dapat dimiliki ataupun berdasarkan pada penilaian apakah harta itu disukai atau tidak, memberikan manfaat atau tidak. Terdapat cukup banyak bendayang oleh sebagian orang disukai seperti babi, minuman keras, uang hasil riba dan sebagainya, tetapi oleh islam dilarang keras untuk memilikinya.
   

Oleh karena itu, system ekonomi Islam mengatur bahwa meski semua benda diciptakan Allah, tidak seluruh benda itu dapat dimiliki oleh manusia secara bebas. Barang-barang yang diharamkan untuk dikonsumsi seperti babi, miras, narkotika dan sebagainya tidaklah bebas dimiliki oleh manusia meski manusia mungkin saja mampu mendapatkan, memproduksi ataupun membeli. Barang-barang yang telah ditetapkan sebagai milik bersama (umum) atau milik Negara juga tidak bebas begitu saja dimiliki individu.
Syariah islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan yang menjadikan secara individu sah memiliki sesuatu, yakni melalui cara bekerja, pewarisan, upaya untuk mendapatkan harta guna menyambung hidup, pemberian Negara, atau melalui cara-cara yang tidak memerlukan daya dan upaya seperti hibah, hadiah, wasiat dan sebagainya. Syariah islam juga telah menetapkan harta apa saja yang dapat dimiliki oleh masyarakat secara bersama dan Negara.
Hak kepemilikan dari ketiga pihak tersebut tidak boleh menjadi sumber konflik intra atau antar ketiganya, juga tidak boleh membahayakan penggunahak milik oleh lainnya. Negara dalam system ekonomi islam dalam batas-batas tertentu berhak melakukan intervensi terhadap pengguna hak-hak individu. Misalnya, meski orang yang ada ditangan seseorang adalah milik sah yang empunya, Negara berhak melarang penggunaan uang itu dalam kegiatan jual beli barang dan jasa yang diharamkan oleh Islam. Rakyat dalam hal ini tidak boleh keberatan atas intervensi tersebut yang memang dibutuhkan demi tegaknya kehidupan bersama yang berjalan sesuai dengan ketentuan Islam.
“waga orang-orang yang beriman, janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah SWT”(QS al-munafikun [63] : 9)
Bahkan berkenaan dengan upaya melindungi hak pribadi, Rasullulah saw bahkan membolehkan setiap individu untuk mempertahankan hartanya yang sah meski sampai mati karenanya.
“siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid”(HR at-tirmidzi).
    Ibnu taimiyah menyatakan bahwa kepemilikan adalah sebuah kekuatan untuk menggunakan harta kekayaan berdasarkan syariah. Namun, kekuatan tersebuat sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. Kekuatan itu dapat sangat lengkap sehingga pemilik dapat menjual atau memberikan, meminjam atau menghadiahkan, mewariskan atau menggunakannya itu tidak lengkap, karena hak kepemilikan nya dibatasi oleh sejumlah limitasi.
    Disatu sisi, pemilik harta memang dapat menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif, memindahkan dan melindunginya dari kemubaziran (pembelajaran dijalan haram). Namun, di sisi lain hak itu dibatasi oleh sejumlah aturan syariah. Misalnya, tidak boleh menghambur-hamburkan harta atau menggunakannya dijalan yang dilarang syariah seperti menyuap, memberikan bunga(riba), membeli barang (miras,misalnya) dan jasa yang haram (pelacuran dan sebagainya).
   

Menyangkut urutan prioritas pemanfaatan harta individu, Islam menentukan bahwa pertama-tama harta haruslah dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti memberi nafkah keluarga,membayar zakat ,menunaikan haji, membayar hutang dan lain-lain; berikutkan dimanfaatkan untuk membiayai perkara yang disunnahkan seperti sedekah, hadiah, dan lain-lain, baru kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah.
Demikian pula ketika seseorang hendak mengembangkan harta miliknya; ia terikat dengan ketentuan islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum islam telah memberikan tuntunan berkenan dengan cara pengembangan harta melalui jalan yang sah seperti jual beli, kerjasama usaha (syarikah) yang islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan jasa. Islam juga menjelaskan cara pengembangan harta secara terlarang seperti riba, berjudi,  berindustrian dalam bidang jasa yang haram seperti rumah border dan lain-lain.
Hak pengelolaan kepemilikan umum (milkiah ammah) ada pada masyarakat secara umum yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara yang diwakili oleh waki-wakil rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum secara professional secara efisian. Namun, meski Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak itu, misalnya, kepada individu tertentu. Cara ini bertentangan dengan hakikat kepemilikan dan tujuan pengelolaan milik umum. Milik umum harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara.pertama : jika memungkinkan, orang-perorang dapat untuk memanfaatkan secara langsung milik umum seperti air,rumput, pohon,  jalan umum, laut, sungai, dan sebagainya.setiap individu dalam hal ini hanya diperkenankan sekedar mengambil manfaat barang itu bukan memilikinya. kedua: jika tidak mudah bagi perorangan utuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas dan minyak maka Negara lah yang harus memproduksinya sebagai wakil dari seluruh rakyat untuk kemudian hasilnya akan dibagikan secara Cuma-Cuma, kaluaupun dijual hasilnya harus diberikan ke baitul mal(kas Negara)untuk kepentingan masyarakat.
Cara pengelolaan kepemilikan Negara (milkiyah dawlah) dan kepemilikan individu (milkiyah fardiyah) juga diatur oleh syariah sebagaimana tampak pada ketentuan-ketentuan menyangkut baitul mal serta hukum-hukum muamalah seperti jual-beli, pengadaan dan sebagainya. Boleh juga Negara dan individu mengelola miliknya itu denga cara barter (mubadalah) atau memberikan kepada orang tertentu dengan cara lain, asal masih tetap berpijak pada hukum-hukum yang dijelaskan oleh syariah.
Dalam kondisi normal- ketika setiap individu,masyarakat, dan Negara mampu melaksanakan syariah islam secara keseluruhan , termasuk dibidang ekonomi diyakini setiap orang akan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara mencukupi. Allah SWT sudah memberikan kepada seluruh manusia hak untuk hidup sekaligus member rezeki atas mereka dengan menyadiakan sumber daya yang demikian melimpah. Allah juga telah mewajibkan kepada setiap komponen masyarakat baik individu, Negara dan masyarakat secara keseluruhan untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Sebagai jalannya, Allah SWT melalui risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, mengatur segenap aktivitas dalam rangka mewujudkan pemenuhan itu. Dengan kata lain, terpenuhnya kebutuhan individu dapat berlangsung bilamana mekanisme distribusi kekayaan dalam masyarakat berlangsung dengan baik.
Disamping menjaga benar-benar agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan syariah yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan diantara manusia secara normal, syarial juga menetapkan sejumlah langkah untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi akibat factor-faktor tersebut di atas, misalnya melalui penyaluran zakat, sedekah, pemberian oleh Negara dan sebagainya. Itu semua dilakukan agar harta tidak hanya berputar pada orang- orang kaya saja dan distribusi berjalan sebagaimana mestinya sehingga kesejahteraan akan melingkupi seluruh anggota masyarakat.
“supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kalian” (QS                       al-hasyr[59]:7)
    Disamping itu, syariah juga mengharamkan penimbunan emas dan perak , meskipun zakat tetap dikeluarkan.
“orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahulah mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksaan yang pedih” (QS at-Taubah [9]: 34)
    Demikianlah digambarkan umum sistem ekonomi Islam. Dari sini tampak bahwa ketika membahas sistem ekonomi, Islam menekankan masalah bagaimana cara memperoleh harta, masalah pengelolaan harta serta cara pendistribusian kekayaan tersebut ditengah-tengah manusia agar dapat dicapai kemaslahatan bersamayang diridhai oleh sang pencipta. Dari sinilah dikatakan bahwa system ekonomi islam berdiri atas tiga pilar (fundamental) utama, yakni menyangkut konsep kepemilikan (tamalluk), pengelolaan (tasharruf) kepemilikan, serta distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tawzi’ ats-tsarwah bayna an-nnas).